Thursday, August 21, 2008

Lesson #1: Memahami dan Mangatasi 6 Perilaku Jahil

Ada-ada saja perilaku baru Audrey yang baru dan mengagetkan, seperti saat ini ia sering sekali bersitegang dengan mami. Ketika maem, makanan yang ada didalam mulut tidak segera ditelan, ketika mami menegurnya ia menjawab "Sabar mi, Audi istirahat dulu...Tapinya jangan marah-marah dong Mi". Duh sungguh mami dan papi harus banyak belajar dari orang tua senior dan psikolog supaya bisa menjadi orang tua yang baik untuk Audrey. Berikut ini artikel-artikel yang Papi kumpulkan untuk dipelajari oleh Papi dan Mami.

Di masa eksplorasi, anak jelas akan mengeksplorasi apa saja yang dianggapnya baru dari lingkungan sekitarnya. Beberapa perilaku eksploratifnya sering dianggap nakal tapi mampu membuat orang tua tersenyum, tertawa terbahak-bahak, atau bahkan terkaget-kaget. Berikut 6 perilaku jahil yang paling sering didapati pada anak batita. Langkah penanganannya diberikan oleh Molly Marsal, Psi., dari Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia (YKAI).
1. JAHIL Banyak sekali kejahilan si kecil yang membuat orang tua tersenyum dikulum. Saat si ibu nonton telenovela, contohnya, si kecil yang masih berumur dua tahun sekonyong-konyong mematikan teve lalu sembunyi di balik pintu. Sikap seperti itu, tutur Molly, muncul karena di usia ini batita memang sedang asyik-asyiknya mencoba berbagai aksi sambil menunggu reaksi apa yang didapat dari lingkungannya. Anak yang jahil mematikan teve tentu bukan tanpa maksud. Ia justru sangat menikmati proses sebab-akibat yang dirasakan lingkungannya. Secara tidak langsung bukankah anak akan penasaran, reaksi apa yang akan ditunjukkan si ibu saat tevenya dimatikan. Marah? Bingung? Atau justru cuma senyum-senyum seraya mencari-cari dirinya di tempat persembunyian? Jika reaksi terakhir yang ditunjukkan orang tua, anak akan mendapatkan kesenangan dari perilakunya dan cenderung akan melakukannya berulang-ulang. Perilaku ini tentu masih bisa ditolerir jika dilakukan sekali dua kali dan tidak sampai menghambat aktivitas orang tua. Sementara bila dilakukan terus-menerus, otomatis orang tua akan terganggu kenikmatannya nonton teve.

Mengatasinya? Orang tua hendaknya memberikan pengertian kepada anak bahwa perilaku tersebut tidak sepantasnya dilakukan. Kalau respons yang didapatnya selalu berupa senyuman atau tawa, anak sama sekali tidak tahu perbuatan tersebut masuk kategori kejahilan yang bisa membuat orang dewasa kesal.

Selain mengarahkan, orang tua juga harus tetap konsisten dengan aturan yang ditegakkan. Jangan sampai hari ini dilarang, lalu besok boleh. Satu hal yang juga perlu dicatat, orang tua juga hendaknya tidak menunjukkan sikap jahil. Bila tidak, bukan tidak mungkin anak akan membalikkan kata-kata orang tuanya. Repot, kan?
2. GEMAR MAINKAN BARANG BARU Sering, kan, mendengar kejadian tragis mengenai orang tua yang sangat kesal karena ponsel mahalnya dicemplungkan si kecil ke dalam gelas. Dalam kondisi seperti itu, tetaplah kendalikan emosi dan jangan tersulut amarah. Perilaku ini muncul karena anak selalu ingin tahu. Apalagi saat melihat barang baru yang menarik. Ponsel, contohnya, anak mana yang tak tertarik pada benda mungil yang mengeluarkan bunyi khas. Belum lagi desain ataupun efek getar dan kerlap-kerlip lampu ritmik saat menerima panggilan. Kalau kemudian timbul idenya untuk mencemplungkan ponsel itu ke dalam air, mungkin ia tengah membayangkan perahu atau kapal selam yang bisa menyorotkan sinar lampunya dalam air. Memang, orang tua hendaknya tidak membatasi daya eksplorasi anak. Biarkan ia memainkan ponsel tersebut, tapi orang tua hendaknya melakukan tindakan pencegahan agar kerusakan barang berharga tidak terjadi. Caranya dengan menyingkirkan benda seperti itu dari hadapan si kecil. Jika tidak memungkinkan, orang tua mau tidak mau harus memonitor perilaku anaknya. Ingat, anak tidak tahu perbuatan ini adalah salah. Ia sama sekali buta informasi bahwa benda-benda elektronik akan rusak fatal jika dimasukkan ke dalam air. 3. MENJAHILI HEWAN Bukan hal aneh jika anak usia ini sangat senang menjahili hewan. Ada saja tingkahnya yang membuat orang tua terkaget-kaget, semisal mengikat kedua kaki anak ayam sehingga tak bisa berjalan. Atau, mencencang ekor capung agar tak bisa terbang tinggi untuk dibuat mainan. Di satu sisi, anak akan menemukan keasyikan tersendiri saat mengamati bagaimana si anak ayam berjalan tertatih-tatih atau si capung terbang sempoyongan. Dalam hal ini, ungkap Molly, anak pun tengah mengeksplorasi objeknya, hanya saja caranya salah. Meskipun begitu, orang tua sebaiknya tidak serta merta melarang anak, melainkan lihatlah seberapa sering anak melakukannya. Amati pula apa motif tindakannya. Bisa jadi anak mengikat capung supaya binatang tersebut tidak lepas darinya. Jika ini motifnya, orang tua harus memberikan alternatif. Semisal dengan memasukkan capung tersebut ke dalam "kandang" kecil agar tidak lepas dan bisa dibawa-bawa ke mana pun ia pergi. Alternatif berikut, alihkan si kecil pada aktivitas lain yang bisa berguna seperti menerangkan kenapa capung bisa terbang. Dengan begitu, anak tidak cuma bermain, tetapi juga mengambil manfaat dari aktivitas bermainnya. Yang tidak kalah penting adalah mengarahkan anak untuk menyayangi binatang. Caranya tak susah, cukup perlihatkan tayangan tentang binatang. Tentu saja jangan lupa jelaskan bahwa binatang adalah makhluk hidup

seperti halnya manusia yang bisa merasakan sakit, kepanasan, kedinginan dan sebagainya. Libatkan anak dalam pemeliharaan atau perawatan binatang seperti memberi selimut, makan, minum, bahkan mengajaknya bermain dan berjalan-jalan.
4. MENYIKSA BINATANG Yang satu ini tingkatannya sudah amat mengkhawatirkan. Ada kejadian dimana seorang ibu dengan napas terengah-engah memasuki ruangan sebuah biro konsultasi psikologi. Ia mengeluhkan sikap anaknya yang dinilainya sangat aneh, "Tadi pagi anak saya memasukkan anak kucing ke dalam kulkas. Saya mendapati anak kucing itu sudah membeku di freezer kulkas itu. Mengapa dia begitu tega ya? Apakah dia punya kelainan?" tanya si ibu. Kasus yang diutarakan ibu tersebut sebetulnya bukan kasus tunggal. Kemungkinan, ada banyak ibu lain yang mengalami peristiwa sama atau bahkan lebih mengerikan. Amat beralasan bila para ibu begitu khawatir membayangkan anak mereka mengalami gangguan jiwa yang bisa membahayakan dirinya maupun orang lain. Namun, orang tua tak perlu khawatir berlebihan. Menurut Molly, "Orang tua jangan tergesa-gesa mencap si kecil mengalami gangguan kejiwaan, apalagi psikopat. Soalnya, anak usia ini belum tahu secara tepat apakah perilaku yang ditunjukkannya termasuk kategori sadisme atau bukan." Boleh jadi, lanjutnya, anak sudah tahu mengenai konsep sakit dan terluka. Ia sudah tahu bila tangannya teriris benda tajam akan terluka dan berdarah. Anak pun tahu air dalam gelas kalau disimpan dalam freezer akan membeku. Justru berbekal pengetahuan inilah, anak terdorong membuktikan rasa penasarannya. Dalam hal ini, anak ingin tahu apa jadinya kalau kucing dimasukkan ke dalam freezer. Apakah juga akan jadi es mambo, misalnya. Berikanlah pengertian kepada anak bahwa perilakunya tergolong sadis atau jahat. Sampaikan dengan bahasa sederhana yang mudah dimengerti anak. Katakan misalnya, "Lo kok kamu masukin kucing ke kulkas? Kasihan dong, dia bakal kedinginan atau mati." Selain itu, orang tua juga harus segera melakukan tindakan tegas berupa pelarangan. Jika tidak, mungkin anak tidak tahu kesalahan dari perbuatannya, sehingga akan terus mengulanginya. Terlebih jika ia menemukan keasyikan tersendiri dari perilaku tersebut. Boleh jadi ia akan mengalihkan korbannya ke objek hidup lain, semisal teman-temannya. Jika orang tua tidak bersikap tegas, Molly mengkhawatirkan perbuatan ini akan terus menetap hingga anak beranjak dewasa. Berdasarkan sebuah penelitian di Amerika, dikabarkan anak-anak yang berperilaku sadis saat dewasa ternyata pernah menyiksa binatang selagi mereka kecil. 5. SENANG "MENGGODA" ANAK LEBIH KECIL Perilaku ini hampir dialami oleh semua anak batita yang memang sedang dalam masa agresif. Tak heran jika mereka begitu gemar menjahili anak lain, terutama yang lebih kecil, dengan cara menjambak, memukul, atau mencubit. Lewat perilaku itu, anak ingin mengetahui lebih jauh dampaknya. Saat melihat korbannya menangis, si batita justru menangkapnya sebagai sebuah peristiwa yang mengasyikkan. Meski di lain pihak ia juga tahu perilakunya bisa membuat lingkungannya marah. Makanya, setelah berbuat anak biasanya akan bersembunyi. Selain itu, anak juga ingin diakui eksistensinya. Anak merasa dirinya lebih kuat dan lebih besar ketimbang si korban. Anak pun sudah bisa memperkirakan korbannya tidak akan berdaya saat dia melakukan tindakan agresif. Itulah sebabnya, yang dipilih adalah sosok yang lebih lemah dari dirinya. Kemungkinan lain, ulah ini timbul karena anak tidak bisa menyampaikan keinginannya dengan baik mengingat kemampuan berbahasanya masih agak terbatas. Tak jarang ia merasa lebih mudah berkomunikasi secara fisik, semisal memukul sambil merebut mainan temannya hanya karena ia ingin memilikinya. Untuk mencegahnya, orang tua harus lebih dulu menggali apa yang menyebabkan si kecil bertindak agresif. Jika si kecil menginginkan sesuatu, orang tua bisa bilang. "Oh, kamu ingin main mobil-mobilan itu ya? Tunggu ya, tapi jangan mukul adek."

Orang tua juga sebaiknya melakukan tindakan pencegahan dengan cara memegang tangan anak saat ia sedang memukul sambil dengan tegas mengatakan, "Tidak boleh." Tentu saja orang tua mesti ekstra sabar menangani perilaku nyeleneh anak. Sebab bukan tidak mungkin sesudah diperingatkan, tapi anak tetap saja melakukan tindakan agresifnya.
6. MENGGANGGU AKTIVITAS ORANG DEWASA Ada saja kelakuan si kecil yang sering membuat kesal orang tua, seperti meremas-remas lalu merobek-robek koran yang sedang dibaca. Atau, merecoki saat ibu sibuk di dapur. Perilaku semacam ini bisa jadi merupakan cara anak berkomunikasi dengan orang tuanya. Dengan kata lain, perilaku yang mengesalkan tersebut merupakan pertanda anak sedang mencari perhatian dari orang tua. Kesibukan orang tua berkutat dengan urusannya sendiri membuat anak merasa disisihkan. Itu sebabnya ia berusaha mengalihkan perhatian orang tua dengan cara mengganggu. Agar tidak berlarut-larut, orang tua amat dituntut untuk peka membaca keinginan si kecil. Mau tidak mau orang tua harus meluangkan waktunya secara intens bersama si kecil, semisal bermain-main dengannya. Caranya, biarkan si kecil "membaca" dan mengeksplorasi isi koran. Bahkan lewat aktivitas semacam ini orang tua bisa mengajarkan banyak hal bermanfaat kepada anak. Bila gangguan ini hanya dilakukan sesekali, bisa juga saat itu si anak sedang kesal tapi ia sendiri tidak tahu bagaimana caranya mengungkapkan kekesalan tersebut. Akhirnya, aktivitas orang tualah yang jadi sasaran. Untuk mengatasinya, mau tidak mau orang tua harus sejenak menghentikan aktivitasnya. Ciptakan aktivitas yang menyenangkan bersama si kecil. Setelah si kecil terlihat ceria, orang tua bisa kembali melanjutkan aktivitasnya.

author: Saeful Imam/nakita
takenfrom:http://www.balita-anda.indoglobal.com alita_466_Memahami_dan_Mangatasi_6_Perilaku_Jahil.html

0 comments:

 
© free template by Blogspot tutorial