Monday, September 01, 2008

Lepas dari Jerat Kebosanan (2)

Kebosanan menjadi penyakit kronis bagiku, pencerahan demi pencerahan kudapatkan dari motivator, penulis, teman, psikolog, dan tentunya dari sobat bloggers. Tak kunjung lelah kucari jawaban atas kebosananku, semakin kucari.. semakin banyak kutemukan hal baru yang justru semakin mengajakku untuk berereksplorasi dan mengenal banyak hal lain yang selama ini ada di luar sana, diluar hidupku yang terpenjara oleh pola pikir dan rutinitas serta habitus lama. Terkadang memang kita perlu menarik diri sesaat untuk memaknai dan mereview apa yang kita lakoni selama ini. Sungguh akan sangat menyenangkan bila bisa mengerti apa itu kebosanan dan bagaimana menghadapinya. Yuk sama-sama kita merdekakan diri kita dari jerat kebosanan yang membelengu, mari sama-sama kita belajar bagaimana caranya. Atau sobat blogger punya cara jitu untuk itu? please share it with me, won't you?

Masih ingat tulisan V. Didik Suryo Hartoko, S.Psi., M.Si di sini?
Nah ini lanjutannya....

KEBOSANAN dan hilangnya gairah hidup, merupakan pengalaman impasse atau deadlock. Si aku yang terbiasa menerima kenikmatan dan kenyamanan yang bersumber dari luar diri tanpa berusaha keras (seperti yang selalu diharapkan oleh seorang anak dari orantuanya) mulai merasakan aspek realitas yang berbeda, wajah lain realitas: sesuatu yang keras dan menuntut dan tak dapat ditundukkan dengan rengekan. Si aku berusaha menghindari aspek tersebut dan mencoba menarik diri ke dalam lamunan.

Sayang, lamunan tak pernah menghasilkan sensasi sekuat realitas. Si aku menolak pola-pola kehidupan, pola-pola relasi dengan realitas yang diatur oleh tatanan luar yang lebih kuat dari dirinya, namun pada saat yang sama ia tak sanggup membangun polanya sendiri secara kreatif. Ia hanya sanggup mengulang pola-pola tertentu yang dipelajari sebelumnya, dan itu membosankan. Pola-pola itu tak cocok lagi merepresentasikan dirinya saat ini, hanya cocok untuk dirinya di masa lampau.

Apa yang membuatnya tak sanggup menciptakan pola baru dan apa yang membuatnya tetap mempertahankan pola lama meski tak memuaskan lagi? Pola lama itu adalah hasil kompromi antara kenikmatan yang ingin diraih dengan tatanan realitas yang dihadapi serta ketakutan untuk mengalami sesuatu yang asing.

Kita mempertahankan hasil kompromi itu, seburuk apa pun, karena pola itu relatif memberi jaminan untuk tetap survive, untuk tetap diterima oleh orang lain. Yang terlupakan adalah bahwa realitas itu selalu berubah, dan kita tidak dapat cepat menangkap perubahan itu untuk menyesuaikan pola hubungan diri dengan realitas tersebut.

Setiap kali menjumpai suatu pengalaman, kita menangkap hanya sebagian kecil pengalaman yang sesuai dengan pola kita. Yang tidak sesuai akan kita hapus, kita anggap tak ada, dengan kata lain kita represi. Si aku berubah dari si orang penerima kesan-kesan realitas menjadi si aku yang represif, yang membuang segala kesan-kesan yang tak cocok dengan pola favoritnya. Proses tersebut berlangsung secara cepat dan otomatis.

Model meditatif a la Zen yang disarankan pada bagian pertama tulisan ini, sebenarnya bermaksud untuk memperlambat proses tersebut, sehingga memberi kesempatan pada ego reseptif untuk menerima kesan-kesan baru realitas. Dengan menunda penyimpulan dan penilaian otomatis atas realitas, diri kita dapat mempertimbangkan kesan-kesan lain yang muncul dari kehidupan, menerima pesan-pesan dari kehidupan sehari-hari kita, seperti berada dalam ambang yang tak terdefinisikan. Deikman, seorang psikiater peneliti meditasi, menyebut salah satu fungsi meditasi adalah deautomatisasi.

Meditasi a la Zen memiliki dua aspek yang amat membantu untuk memecahkan deadlock kebosanan. Aspek pertama adalah ketenangan. Dengan memperhatikan irama nafas kita, kita akan merasa tenang. Ketenangan itu penting untuk membuat kita berani berada dalam ambang yang tak terdefinisikan, berada dalam situasi yang tak jelas (karena kita menunda penyimpulan kita atas pengalaman yang kita jumpai).

Aspek kedua adalah pengetahuan baru atas realitas. Dengan bersikap awas penuh perhatian terhadap kesan-kesan kehidupan yang memasuki ruang diri kita, kita memberi kemungkinan kepada diri reseptif kita untuk membentuk jaringan-jaringan baru realitas yang menyimpang dari pola-pola keseharian kita. Suara-suara yang biasanya tampak bising dan mengganggu dapat dimaknai dengan cara yang berbeda sebagai orkestra kehidupan kota.

Contoh ekstremnya demikian: teman sekantor Anda yang tampak ambisius dan menghalalkan segala cara untuk maju, tampak bagi Anda sebagai pribadi yang jahat. Setiap kali bertemu dengannya Anda merasa muak dan sebal. Jika Anda menerima sinyal-sinyal tubuh yang seperti itu, jangan buru-buru menyingkir, tapi rasakan saja dan perhatikan irama nafas Anda. Lama kelamaan Anda akan merasa tenang.

Dalam keadaan yang lebih tenang itu lihat kembali teman Anda, tepatnya lihat kembali penyimpulan Anda atas teman Anda. Jangan-jangan dia bukan orang jahat, ia hanya orang yang tak tahu cara yang lebih baik untuk maju. Anda tak lagi muak atas kehadirannya, tetapi boleh jadi anda menjadi merasa kasihan. Ini artinya Anda mulai menangkap kesan-kesan kehidupan yang berbeda dari pola kebiasaan kita, hanya karena kita memberi kesempatan bagi kesan lain untuk muncul.

Ada bentuk lain yang dapat dipakai untuk mengurangi kebiasaan represif dan memupuk kebiasaan reseptif, yaitu menulis bebas. Sigmund Freud menemukan asosiasi bebas sebagai alat terapi psikoanalisis setelah ia membaca tulisan Ludwig Borne seorang penulis Jerman (1786-1837), How to Become an Original Writer in Three Days (1823). Untuk kepustakaan yang lebih baru, Anda dapat membaca tulisan Peter Elbow, Writing without Teachers yang sudah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia.

Prosesnya sederhana, Anda hanya cukup meluangkan waktu dalam beberapa puluh menit menuliskan apa saja yang masuk dalam pikiran Anda, secara terus-menerus tanpa henti. Anda tak perlu khawatir apakah ejaan Anda benar atau tidak, apakah kalimatnya logis atau tidak. Terus tulis saja. Mungkin yang kita dapatkan adalah sampah, tak apa-apa, toh sebagian besar isi pikiran kita adalah sampah, remeh-temeh.

Setelah Anda menulis dalam beberapa sesi, Anda boleh membaca ulang, melihat kembali isi pikiran kita. Beberapa dari tulisan Anda mungkin akan mengejutkan Anda: Anda menemukan jaringan hubungan antar ide yang nyleneh dari kebiasaan berpikir Anda. Jika Anda rutin melakukannya, lama-kelamaan Anda mulai berpindah dari gigi berpikir sekunder (yang penuh dengan kehati-hatian dan logika) menuju pikiran primer (yang lebih primitif, kaotik) yang memungkinkan Anda untuk mengumpulkan kesan-kesan kehidupan tanpa hambatan dari ego represif Anda. Ego represif Anda adalah sang editor yang suka menata kesan yang Anda tangkap, bahkan mencoretnya jika itu tak sesuai dengan pola berpikir Anda.

Ini cara yang lebih mudah untuk menyaksikan bagaimana ego represif kita bekerja dan sekaligus memberi ruang bagi ego reseptif kita untuk bekerja. Prosesnya sama dengan apa yang dilakukan oleh meditator Zen maupun psikoanalisis dalam sesi asosiasi bebas. Kita membuat penangguhan kesadaran, membiarkan pikiran yang datang dan pergi tanpa perlu menghakiminya.

by V. Didik Suryo Hartoko, S.Psi., M.Si, dosen pada Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma
taken from: www.kompas.com

0 comments:

 
© free template by Blogspot tutorial